Terminologi
globalisasi secara umum merujuk pada suatu fenomena integrasi dan intensifikasi
aktifitas ekonomi-politik negara-negara ke dalam bentuk sistem ekonomi berbasis
pasar. Globalisasi bergerak sangat jauh dengan mengeliminir sekat teritorial
dan menembus hambatan proteksionisme yang selama ini cenderung dipraktekkan di
banyak negara. Eskalasi relasi ekonomi ini dipicu oleh sebuah proyek global
yang menjanjikan kesejahteraan bersama bagi seluruh masyarakat dunia. Secara
empirik, globalisasi menjanjikan ruang dan kesempatan yang luas bagi penciptaan
peluang ekonomi dan bisnis lewat aliran perdagangan, investasi, dan
industrialisasi. Hal ini semakin jelas terlihat paska perang dingin tahun 1990.
Kecenderungan hubungan internasional telah bergeser sangat signifikan ke arah
pola yang sangat ekonomistik. Hubungan interdependsensi adalah tren yang
didorong sebagai pemicu kerjasama ekonomi yang lebih maksimal. Sejumlah institusi
internasional dibangun berikut kesepakatan-kesepakatannya dalam rangka mencetak formasi dunia yang
lebih berkembang dan maju. Oleh karenanya, pada konteks ini globalisasi menjadi
semacam logika bersama (common sense)
bahwa dunia wajib memasuki babak baru dan meninggalkan realitas lama berupa
agresi militer, konflik, dan perang.
Sekilas
deskripsi di atas menunjukan bahwa globalisasi bergerak bersama komitmen kesejahteraan
dan kemajuan bagi masyarakat dunia. Hal ini juga diperkuat oleh sejumlah
pernyataan diplomatik dan propaganda perluasan agenda pasar bebas di banyak negara.
Sehingga apa yang dihasilkan dari diskursus dan fenomena globalisasi adalah
realitas yang berwajah tunggal. Hal inilah yang justru menghasilkan
pertentangan dari sebagian kelompok yang skeptik atau bahkan menolak
globalisasi. Peristiwa politik terkenal di Seattle 1999 di AS menjadi pukulan
telak sekaligus indikator nyata bahwa globalisasi mendapatkan kecaman dan
serangan tajam. Untuk mengawali polemik dan pembongkaran terhadap proyek
globalisasi dengan doktrin neoliberalismenya, ada sebuah pertanyaan sederhana: Apakah
memang globalisasi merupakan fenomena alamiah sebagai bentuk evolusi sejarah?
Ataukah ia tidak lebih sebagai produk yang dicetak dari skenario segelintir
pihak dengan selubung kepentingan tertentu?
Untuk
menganalisa globalisasi dari kacamata yang berbeda ada sejumlah perspektif yang
dapat dikedepankan. Marxisme adalah salah satunya. Tradisi pemikiran Marxian
dikenal secara keras menentang legitimasi dan justifikasi a la liberalisme ekonomi sejak abad kapitalisme mulai berjaya di
eropa. Marxisme mendesain kritik dan sorotannya terhadap kapitalisme global
(globalisasi neoliberal) dengan cara yang berbeda dan sangat tipikal. Gagasan dan
praktek kapitalisme perlu dipahami bukan hanya sebagai mekanisme atau tata
kelola ekonomi an sich tapi juga
berusaha melampaui itu. Dominasi dan eksploitasi yang selama ini terselubung
dalam tubuh kapitalisme adalah sasaran utama serangan tradisi pemikiran ini.
Globalisasi dalam perspektif
marxisme
Untuk
memahami gagasan marxisme maka perlu diawali dengan pemahaman tentang instrumen
filosofsinya. Marx merumuskan sebuah kerangka berpikir yang disebut dengan
materialisme dialektika historis. Filsafat ini secara umum memandang realitas
sosial sebagai produk dari dialektika kondisi material (faktor produksi dan
mode produksi) dalam konteks antagonisme kelas. Sejarah formasi masyarakat
dibentuk oleh aktifitas ekonomi manusia dengan wujud produksi. Secara sederhana
diartikan bahwa fenomena sosial lahir dari segenap perubahan kondisi atau
lingkungan dimana basis ekonomi menjadi faktor esensial yang mempengaruhi
tatanan dan dinamika peradaban manusia. Kondisi materiallah yang melahirkan
pola pikir dan kesadaran manusia bukan sebaliknya. Marx menyatakan :
“In the social production of their existence, men inevitably
enter into definite relations of production appropriate to a given stage in the
development of their material forces of production. The totality of these
relations of production constitutes the economic structure of society, the real
foundation, on which arises a legal and political superstructure and to which
correspond definite forms of social consciousness. The mode of production of
material life conditions the general process of social, political and intellectual
life.”[1]
Secara historis, globalisasi diyakini sebagai langkah
sistematis dari para pemilik modal dan elit- elit politik yang menjadi
afiliasinya. Sejak beberapa dekade yang lalu aktifitas perdagangan telah
mewarnai tahap baru perkembangan dinamika ekonomi dunia. Perdagangan dan
investasi yang massif digerakkan oleh negara-negara imperial pada dasarnya berdiri
diatas prinsip monopoli dan dominasi. Sumber utama kritik marxisme berasal dari
kapitalisme. Inilah sistem ekonomi yang diklaim sebagai pola penghisapan
manusia.
Menurut riset Hirst dan Thompson, pada abad 14 telah berdiri
dan berjalan sebuah perkumpulan dagang dari Jerman bernama hansaetic league. Perusahaan ini menjalankan operasi ekonominya di
wilayah eropa barat. Pada akhir abad yang sama juga, sekitar 150 bank dari Italia
sudah menjalankan usahanya di berbagai negara. Selanjutnya, pada abad 17 dan 18
negara-negara mulai ikut aktif mendukung berdirinya perusahaan-perusahaan
dagang kolonial, seperti dutch east india
company, british east india company,mucovy company, royal Africa company,
dan Hudson bay company. Semua
perusahaan ini mempelopori perdagangan berskala besar di wilayah yang kelak
menjadi wilayah jajahan yang penting.[2]
Berdasarkan fakta sejarah ini, James Petras lalu membagi
tahapan perkembangan globalisasi dalam 3 fase.
Fase pertama dimulai ketika abad 15 bersamaan dengan ekspasnsi negara-negara
Eropa dan tumbuhnya kapitalisme, kolonialisme di sejumlah negara di wilayah Asia,
Afrika, dan Amerika Latin. Bangsa kulit putih juga menunjukan superioritas
dengan menaklukan daerah-daerah seperti Amerika Utara dan Australia. Dengan
demikian, globalisasi adalah proyek besar yang berdampingan dengan imperialisme
negara Eropa yang menindas dan menghisap dunia ketiga. Fase kedua, globalisasi
dibangun di era inter imperial trade
(perdagangan antar kaum imperialis). Hal ini direfleksikan dari perdagangan dan
kerjasama antar kelompok Negara maju seperti sesama negara Eropa, lalu dengan Amerika,
Jepang, yang akhirnya membentuk blok ekonomi dan kooperasi yang kuat. Pada
konteks ini, globalisasi mengarah pada kompetisi dan kolaborasi antar negara
dan perusahaan multinasional dalam mengeksploitasi pasar yang ada.
Pada
fase ketiga, globalisasi akhirnya melangkah pada fase international trade (perdagangan internasional). Pada fase inilah
terjadi intensifikasi perdagangan internasional dengan skala dan cakupan yang
jauh lebih besar dibanding sebelumnya. Negara-negara maju dan MNC memainkan
peranan yang sangat krusial dalam membentuk tatanan ekonomi politik global hari
ini. Di kemudian hari, eksistensi dan pengaruh lembaga-lembaga keuangan
internasional ikut mewarnai hegemoni globalisasi neoliberal. Arus
neoliberalisme mulai berjaya sejak dekade 1980an sampai sekarang. Ide dan resep
kebijakan neoliberal banyak disebarluaskan oleh lembaga-lembaga seperti IMF, Bank
Dunia, WTO, atau G8. sehingga terjadilah perombakan besar-besaran dalam skema
kebijakan ekonomi-politik banyak negara di dunia.
Sebelum
beranjak lebih jauh pada pandangan Marxian terhadap globalisasi, maka ada
baiknya menengok konsep dasar ekonomi kapitalisme menurut Marx yang disebut
dengan akumulasi Kapital. Hal ini menjadi penting karena akumulasi Kapital adalah
bagian inheren dalam globalisasi ekonomi. Dalam kapitalisme terdapat dua jenis
reproduksi. Yang pertama adalah reproduksi sederhana dan yang kedua akumulasi kapital.
Reproduksi sederhana adalah proses penciptaan nilai lebih lewat produksi tanpa
upaya reproduksi kapital lewat investasi. Artinya nilai lebih atau profit
langsung dipakai habis untuk kebutuhan si kapitalis. Sedangkan akumulasi kapital
mengarah pada watak produksi yang berupaya terus mereproduksi kapital lewat
investasi. Jadi keuntungan yang diperoleh akan dimanfaatkan kembali untuk
memperluas usaha dan skala produksi. Pada akhirnya, terjadilah penumpukan nilai
lebih atau keuntungan. Kapital mesti mengalir dari suatu tempat, lokasi,
wilayah, negara ke tempat, lokasi, wilayah, dan negara berbeda. Jika tidak,
produksi kapitalis akan bangkrut.[3]
Ketika
menganalisa globalisasi, terdapat sejumlah poin substansial yang diperoleh
berdasarkan cara analisa Marxian. Pertama, proses masifikasi kegiatan ekonomi
yang berwujud globalisasi dicirikan oleh pembagian kerja internasional. Hal ini
terjadi sebagai konsekuensi logis dari praktek kapitalisme dalam masyarakat. Relasi
produksi kapitalisme bersifat hierarkis dan timpang yang kemudian berujung pada
pembagian kerja sosial. Formasi sosial dibelah oleh dua kutub kelas yaitu kelas
yang menguasai dan mengontrol faktor-faktor produksi dan kelas yang tidak punya
apa-apa kecuali tenaga kerjanya yang dijual. Konteks ini juga berlaku pada
interaksi ekonomi di level global. Kelas kapitalis yang berada di negara
imperial maupun non-imperial mengontrol bentuk pembagian kerja. Mereka
mendesain pola kerja dengan menciptakan investasi dan industrialisasi di negara-negara
miskin. Tenaga kerja buruh murah dimanfaatkan untuk maksimalisasi perolehan
profit dan kemudian dibawa keluar ke negara asal kapitalis atau investor. Pola
kerja ini dibungkus rapi dalam kerangka kerjasama ekonomi dan penciptaan
lapangan pekerjaan. Padahal posisi negara miskin jelas sangat inferior dan
berfungsi sebagai pemasok tenaga buruh murah bagi korporasi dan negara-negara
imperial. Sehingga, pada dasarnya kerja para buruh industrial adalah gejala
utama dari semakin masifnya arus kapitalisme.
Yang
kedua, perluasan atau ekspansi pasar. Logika kerja kapitalisme adalah mendorong
proses produksi yang tanpa batas. Prinsip ini dibangun oleh kerangka
kapitalisme yang tidak boleh terinterupsi oleh batasan dan campur tangan
Negara. Pasar hanya dapat berjala maksimal dan efektif jika dituntun oleh
mekanisme internalnya sendiri. Pada gilirannya, hal tersebut secara otomatis
menstimulir pembukaan pasar pasar baru. Kombinasi antara keseimbangan kapasitas
produksi dengan tingkat konsumsi beserta akumulasi kapital akan menciptakan
potensi krisis dalam pasar domestik. Hal ini terjadi karena barang yang diproduksi
dalam skala massif tidak akan pernah dapat terserap sepenuhnya oleh pasar dalam
negeri. Dengan demikian, satu-satunya opsi adalah ekspansi pasar. Penciptaan
pasar baru adalah kunci bagi akumulasi dan maksimalisasi profit. Perluasan
produksi dan pasar merupakan karakter dasar kapitalisme dalam sejarahnya. Sebagaimana
yang dikatakan oleh Marx :
‘’The bourgeoise cannot exist
without constantly revolutionizing the instrument of productions,and thereby
the relation of productions and with them the whole relation of society…the
bourgeoise during its rule of scarce one hundred years has created more massive
and more colossal productive forces than have all preceeding generations
together”[4]
Pada
titik inilah, alasan atas imperialisme dan kolonisasi menjadi sangat rasional.
Dalam beberap abad, dunia pernah dikontrol oleh sejumlah negara imperial
seperti Inggris, Portugis, Belanda, Spanyol, atau Perancis. Mereka melakukannya
demi akumulasi kapital sekaligus mengobati krisis internal dalam pasar domestiknya.
negara koloni menjadi sumber penghasil faktor-faktor produksi, tenaga buruh,
juga pasar yang cukup potensial. Eksploitasi dan penjarahan ini berlangsung
secara terbuka maupun terselubung. Dahulu imperialisme ditopang oleh agresi
militer dan perang namun sekarang dominasi kapital dijaga dan ditegakkan oleh
hegemoni yang disertai dengan sejumlah intimidasi politik dan manipulasi. Namun
begitu, kekuatan militer dan agresi masih menjadi opsi alternatif jika cara
pertama gagal. Kasus ini terlihat dari invasi AS yang didukung oleh negara kaya
lainnya ke Afganistan 2001 dan Irak 2003. Fakta paling mencolok dari
eksploitasi modern adalah kejayaan korporasi raksasa internasional yang telah
menjadi kekuatan utama ekonomi dunia.
Yang
ketiga adalah analisis kelas. Globalisasi dalam kerangka marxisme bukanlah
fenomena lazim dengan misi membawa kemakmuran bagi semua pihak tapi lebih
sebagai sebuah proyek kelas. Analisa kelas adalah salah satu tinjauan paling
penting dalam perspektif marxisme. Tatanan kapitalisme adalah bentuk evolusi
dari kontradiksi ekonomi-politik yang berbasis pada antagonisme kelas.
Pertentangan kelas dalam masyarakat yakni antara borjuasi dan proletar adalah
sumbu dari lahirnya bentuk atau corak peradaban modern. Gagasan ini secara
frontal menolak dan menyerang asumsi bahwa formasi sosial dibengun oleh
dialektika ide, kerjasama, atau analisa lain yang berlandaskan pada perubahan
mekanis sejarah. Sehingga dalam melihat sejarah, peran dan eksistensi kelas
menjadi sangat esensial dalam pandangan kaum Marxian. Sebgaimana yang
dinyatakan oleh Marx dalam german
ideology dan communist manifesto
:
“The ideas of rulling class are in
every epoch are the rulling ideas…the rulling ideas are nothing more than the
ideal expression of the dominant material relationship which make the one class
the rulling one, therefore, the idea of its dominance”[5]
Dalam
konteks globalisasi pun wajib dilihat berdasarkan analisis kelas. Terbangunnya
tatanan imperium kapital dunia adalah rekayasa dari kelas borjuasi yang diwakili
oleh korporasi raksasa, bank swasta, dan didukung oleh elit-elit politik
berhaluan neoliberal. Proyek kelas ini bertujuan untuk mereproduksi
ketergantungan struktural dan akumulasi kapital di negara-negara miskin.
Seperti pada proyek kapitalisme lain (moderninsasi, industrialisasi,
pembangunan, dan kolonialisme) bentuk imperialisme selalu mengandung
kontradiksi yang selanjutnya membentuk kekuatan-kekuatan oposisi dan resistensi
yang dalam keadaan tertentu mampu merusak proses akumulasi modal dan juga sistem
yang menjadi tempatnya bergantung.[6]
Substansi
lain dari analisis kelas yaitu perkembangan masyarakat merupakan produk dari
konflik kelas yang berujung pada kekerasan dan negasi. Kemenangan
neoliberalisme lewat globalisasi tidak hanya bisa dilihat dari hegemoniknya
propaganda dan doktrin neoliberal dalam mendominasi wacana pembangunan ekonomi.
Jika hanya bertumpu pada analisis ini maka sama halnya memandang bahwa
transformasi sosial berasal dari atas lewat instrumen ide. Hal ini jelas
bertentangan dengan dialektika ekonomi-politik yang terjadi lewat perebutan dan
perang. Fakta menunjukan bahwa penggunan cara-cara koersif lewat kekerasan adalah
bidan yang melahirkan babak baru sejarah dan langkah awal pembentukan tatanan
sosial yang berbeda. Imperialisme dan kolonialisme hanya bisa terjadi lewat
penundukan dengan senjata dan militer.
Salah
satu contoh paling relevan untuk pandangan ini adalah fenomena hubungan buruh
industrial dengan perusahaan di AS pada era great
depression dekade 1930-an. Dibawah
pemerintahan Franklin Delano Rosevelt relasi antara buruh dan perusahaan serta
pemerintah bisa dikatakan sangat dekat dan cukup ”harmonis”. Hal ini disebabkan
oleh kuatnya tekanan dan oposisi kelas pekerja dalam wadah serikat pekerja yang
menuntut perbaikan upah dan kondisi kerja. namun kondisi berubah drastis ketika
fase malaise berakhir paska perang
dunia kedua. Masyarakat di AS termasuk kelas pekerja relatif mampu menikmati
kehidupan yang lebih baik dibanding sebelumnya. Kelas pekerja terlena oleh gaya
hidup borjuis dan perbaikan upah. Ternyata hal ini berdampak sangat serius pada
politik organisasi kelas pekerja. Serikat pekerja mulai melemah ditandai oleh
penurunan sangat signifikan pada jumlah anggota serikat pekerja dan aktifitas
politiknya. Akhirnya bencana pun datang! Dunia kembali diguncang krisis pada
dekade 1970-an. Kapitalisme kembali diterjang krisis siklikalnya dan ikut
menyapu kehidupan masyarakat AS. Momentum ini akhirnya menjadi gerbang masuknya
ide dan implementasi neoliberalisme. Dibawah pemerintahan Ronald Reagen, AS
secara drastik memutar haluan ekonomi-politiknya dari model Keynessian menuju
neoliberalisme. Kebijakan berwatak neoliberal dijalankan tanpa resistensi
apa-apa akibat melemahnya posisi politik serikat pekerja. Dan ketika mencoba
melawan proyek pasar bebas Reagan, kelas pekerja justru semakin terpojok dan
dilumpuhkan. Aksi
pertama Reagan, yang kemudian menjadi penanda kebangkrutan gerakan buruh AS,
ketika ia memecat 11.345 buruh PATCO (Professional
Air Traffic Controllers Organization) yang terlibat dalam demonstrasi pada
3 Agustus 1981. Hanya 500 anggota PATCO yang diterima kembali (rehired) untuk bekerja.[7]
Fenomena yang sama juga terjadi inggris dan banyak negara eropa lainnya. Tidak
ada resistensi dan pertentangan yang muncul dari kelas pekerja karena posisi
mereka semakin lemah oleh pemerintahan yang memasung perjuanagan buruh secara
militeristik. Di Amerika Latin, kekuatan oposisi dilenyapkan oleh rezim yang
dikenal sangat dekat dengan AS dan pro pasar bebas. Kudeta dan penggulingan
kekuasaan pemerintahan populis adalah hal yang cukup lumrah di kawasan ini.
Kasus dengan substansi yang sama juga menimpa Indonesia. Kemenangan kelas
borjuasi diperkuat oleh semakin memudarnya radikalisasi dan aksi langsung dari
gerakan buruh yang justru juga diperparah oleh fragmentasi gerakan dan politik
kooptasi dari rezim neoliberal di Indonesia.
Keempat
adalah teori imperialisme dalam tradisi Marxian. Teori imperialisme pada
prinsipnya menggambarkan realitas dominasi kapital yang digerakan oleh sistem
dan metode dalam tubuh kapitalisme demi mencapai akumulasi kapital. Fenomena
ini pada gilirannya mewajibkan eksploitasi dan penjarahan di negara-negara
miskin atau pada level kelas pekerja yang dimobilisir oleh kekuatan politik negara
dan militer. Pada dasrnya Karl Marx sendiri tidak pernah memformulasikan teori
imperialisme.[8]
Namun begitu Marx telah meletakan sejumlah poin penting menjadi landasan
terbentuknya teori imperialisme. Beberapa pemikir Marxist merumuskannya adalah
Vladimir Lenin, Rudolf Hilferding, Nicolai Bukharin, Rosa Luxemburg, Immanuel Wallerstein,
Ander Gunder Frank, dan sejumlah pemikir lainnya. Mereka menggunakan
konsep-konsep yang ditulis oleh Marx dalam Das Capital seperti sentralisasi dan
konsentrasi kapital, ekspor kapital, perdagangan dunia dan kolonialisme.
Lenin
terkenal dengan pemikirannya bahwa tahap tertinggi kapitalisme termanifestasi
dalam bentuk imperialisme. Lenin menyatakan bahwa ekspor kapital merupakan
salah satu fondasi penting dari imperialisme. Ekspor kapital dari negara maju
yang sudah sangat berkembang industrinya ke negara-negara yang belum punya dan
belum maju industrinya telah menjadi langkah awal dominasi kapitalisme. Ekspor kapital
industrial ini didorong oleh motif bahwa pasar dalam negeri dianggap tidak
potensial lagi untuk mencapai akumulasi kapital. Reproduksi industri di tempat-tempat
baru juga dipicu oleh ongkos buruh murah, bahan baku banyak, dan juga daerah
pemasaran baru. Dalam konteks kekinian fenomena ini disebut dengan investasi
asing langsung atau foreign direct
investment. Lalu ada kontribusi teoritik berasal dari Luxemburg. Fokus
pemikirannya terletak pada bahwa imperialisme dicirikan oleh produksi komoditas
yang akan terus meluas sehingga ekspansi pasar menjadi keharusan termasuk
dengan cara perang sekalipun. Rudolf Hilferding menawarkan tesis bahwa
akumulasi kapital dalam imperialisme terjadi dalam bentuk kapital keuangan.
Tesisnya merujuk pada pemberian kredit atau pinjaman dari institusi finansial
ke industri-industri manufaktur. Penggelumbngan kapital diperoleh lewat bunga
hutang. Dewasa ini gagasan Hilferding dapat disebut dengan finansialisasi.
Kelima,
krisis internal dalam tubuh kapitalisme. Dalam sejarah dunia, kapitalisme telah
diterjang oleh sejumlah krisis parah. Ada dua pendapat yang mengemuka tentang
gagasan ini. Pertama, krisis ini adalah proses alamiah dari perkembangan
kapitalisme sehingga krisis ini bersifat siklikal. Kedua, pendapat bahwa krisis
ini merupakan cacat inheren yang eksis dalam struktur dan mekanisme dasar
kapitalisme. Marx banyak membahas krisis ini lewat analisa ekonomi dalam
karyanya Das Capital. Misalnya kecenderungan tingkat profit yang selalu turun
pada kapitalisme, over-produksi, dan keterbatasan pasar. Marx menyatakan:
“Krisis yang terjadi dalam
tubuh Kapitalisme merupakan bagian dari pertentangan yang tak terdamaikan
antara tenaga-tenaga produktif (teknologi, ilmu pengetahuan, alat-alat kerja,
skill) dengan hubungan produksi yang karena kepemilikan pribadi atas alat
produksi-menindas dan eksploitatif; sebuah krisis inheren (dalam dirinya
sendiri) yang menunggu ledakan penentuan-berikut syarat-syarat objektif maupun
subyektifnya. Pemulihan krisis yang selalu dengan memotong tingkat
kesejahteraan hidup rakyat (miskin), kaum buruh, bahkan kemakmuran para
kapitalis dan fungsi pelayanan negara, tidak lain merupakan penundaan akan
akumulasi krisis yang menghancurkan. Dalam sejarah perekonomian kapitalis,
perubahan kebijakan krisis merupakan usaha konsolidasi dan penundaan krisis
yang lebih parah”[9].
Dampak globalisasi adalah
kesenjangan kelas
Malaui laporan UNDP pada tahun
1992, memperkirakan bahwa 20% populasi dunia yang tinggal di negara-negara maju
memperoleh 82,7% kekayaan dari total pendapatan dunia, sementara 20% lainnya
yang tinggal di negara-negara miskin hanya menerima 1,4%. Pada tahun 1996,
sejak tiga dekade yang lalu, hanya ada 15 negara yang mengalami tingkat
pertumbuhan tertinggi, sementara 89 negara lainnya justru terperangkap dalam
kondisi ekonomi yang lebih buruk dibanding 10 tahun sebelumnya. Di level negara
yang sedang berkembang , ada 70 negara yang mengalami penurunan tingkat
pendapatan dibanding tahun 1960-an dan 1970-an. Dengan demikian keuntungan
ekonomi hanya berputar di tingkat sejumlah kecil negara dan telah menjadi
dampak buruk bagi banyak negara lainnya (UNDP,1996). Laporan tersebut bahkan
diperkuat oleh UNCTAD menyangkut dinamika dan ekses pembangunan dan perdagangan
dunia tahun 1997. Sejak dekade 1980-an ekonomi dunia dicirikan oleh
ketidakmerataan dan kesenjangan yang makin lebar (UNCTAD,1997:Bab IV-VI)
terutama pada segi pendapatan. Pada tahun 1965 rata-rata pendapatan per kapita
dari negara-negara industri yang tergabung dalam G7 mencapai 20 kali lipatnya
dari 7 negara termiskin di dunia dan tahun 1995 menjadi 39 kali lipatnya.[10]
Dalam kasus Sub Sahara Afrika,
Bank Dunia (2000) memperkirakan terjadi penurunan pendapatan per kapita sebesar
25% sejak tahun 1987. Hal ini tentu saja menjadi kegagalan nyata dari proyek
neoliberalisme di Afrika. Ketimpangan serupa juga terjadi di wilayah domestik.
Penumpukan kekayaan akibat kompetisi yang tidak seimbang memicu kesenjangan
pendapatan yang cukup ekstrim. Masih dalam laporan UNCTAD, pada tahun 1997
pendapatan 20% penduduk terkaya semakin meningkat hampir disetiap negara.
Sedangkan 20% penduduk miskin justru tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan
standar kehidupan (diberbagai negara, rata-rata pendapatan perkapita 20%
penduduk termiskin kurang dari sepersepuluh pendapatan perkapita dari 20%
penduduk terkaya). Fenomena ini ketidakmerataan ini terjadi diseluruh wilayah
termasuk Asia Timur, Amerika Latin, dan Afrika.
Di sektor investasi juga
mengalami tren yang sama. Lewat kebijakan investasi langsung atau FDI, terbuka
peluang untuk melarikan modal keluar negeri selain menciptakan kekayaan MNC
yang bahkan lebih tinggi dibanding negara. Pada tahun 1992, 172 dari 200 MNC
yang berasal dari negara maju mampu menginvestasikan modal sebesar US$ 2
triliun sebagai bentuk investasi langsung.[11]
Sementara menurut Hirst dan Thompson dalam konteks perdagangan, lebih banyak
terjadi antar MNC dibanding ke perusahaan domestik atau usaha kecil menengah
rakyat. Hampir 40% perdagangan dunia terjadi antara perusahaan yang sebenarnya
dikuasai oleh satu perusahaan induk. Lebih parah lagi untuk komoditas tertentu dikontrol
oleh segelintir MNC. Misalnya, 6 perusahaan menguasai 90% perdagangan gandum
dunia: MNC juga mengontrol 80% dari seluruh lahan pertanian untuk ekspor padi.[12] Lebih dari semuanya, MNC mengontrol sekitar
70% dari seluruh perdagangan dunia.
Berdasarkan data
dalam human development report tahun
2000 dan 2002, pendapatan 1% penduduk terkaya didunia setara dengan 57%
pendapatan orang termiskin. Kesenjangan pendapatan antara 20% orang terkaya
dengan 20% penduduk termiskin di dunia meningkat dari 30:1 di tahun 1960
menjadi 74:1 di tahun 1999. Bahkan angka ini diramalkan akan terus meningkat
menjadi 100:1 di tahun 2015. Pada tahun 1999-2000 2,8 miliar orang hidup dengan
pendapatan kurang dari 2 dollar AS per hari. 840 juta orang hidup dengan gizi
buruk, dan 2,4 miliar orang tidak mempunya akses dengan air bersih. Hal ini
bahkan perparah oleh kematian bayi dan ibu miskin akibat penyakit yang
sebenarnya dapat diatasi dengan angka yang terus meroket.
Analisa
marxisme terhadap globalisasi memiliki kecenderungan dan karakter yang sangat
khas dibanding perspektif lain. Hal ini diindikasikan lewat logika dan model
eksplanasi yang menitikberatkan pada proses dialektika kondisi material yang
bersandar pada corak produksi masyarakat. Selanjutnya , perspektif Marxian
memberikan ruang khusus bagi analisa historis menyangkut tahap perkembangan
sejarah masyarakat. Oleh karenanya, globalisasi perlu dilihat sebagai suatu
proses dan produk dialektika sejarah yang berbasis pada kepentingan
ekonomi-politik. Neoliberalisme lewat proyek globalisasi dianggap sebagai
konsekuensi sistemik dari logika dan mekanisme internal kapitalisme. Sistem ini
berwatak sangat progresif dengan orientasi akumulasi kapital yang tak terbatas.
Kemunculan globalisasi adalah produk bentuk imperialisme baru yang
merefleksikan antagonisme kelas sekaligus ketimpangan kelas yang sangat
mencolok.
Tucker,
Robert C, The Marx-Engels Reader,
W.W.Norton & Company,Inc., USA, 1972
Brewer, Anthony, Marxist
theory of imperialism, rouledge press, new York,2001
Wolff jonathan, why read marx today, oxfor university
press, England,2002
Hirst dan Thompson, globalisasi adalah mitos,yayasan obor
Indonesia, Jakarta,1996
Petras, James dan
Veltmeyer, Henry, Imperialisme Abad 21,
Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2004
Adams,
Ian, Ideologi Politik Mutakhir, Qalam, Jogjakarta, 2004
Chomsky,
Noam, Memeras Rakyat Neoliberalisme dan Tatanan Global, Profetik,
Jakarta. 2005.
Jackson, Robert dan
Georg Sorensen, Pengantar Studi Hubungan Internasional, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2005
Steger, Manfred B, Globalisme-Bangkitnya
Ideologi Pasar-, Lafadl, Yoyakarta, 2004.
Khor,martin,globalisasi: perangkap Negara-negara selatan,
Yogyakarta, cindelaras,2001
Coen
Husain pontoh, mcglobal
gombal:globalisasi dalam perspektif sosialis,Yogyakarta, cubic,2001
Harvey, David, Neoliberalisme Dan Restorasi Kelas Kapitalis,
Resist Book, Yogyakarta, 2009
Website:
http://indoprogress.blogspot.com/2010/12/relevansi-teori-imperialisme/arianto
sangaji/_9012.html#uds-search-results
http://indoprogress.blogspot.com/2009/08/neoliberalisme-perspektif/coen
husain pontoh/-kelas.html
[1] Marx, karl, a contribution to
critique of political economy (preface), 1857
[2] Hirst dan Thompson, globalisasi
adalah mitos,yayasan obor Indonesia, Jakarta,1996,hal 32-33
[3] Sangaji, arianto, relevansi
teori imperialism,,www.indoprogress.blogspot.com..diakses tanggal 11 januari
2011
[4]
Marx, karl, communist manifesto, hal 36, 37,1848
[5]
Marx, karl, german ideology, dalam jonatah wolf, why read marx today, oxfor
university press, England,2002
[6]
Petras dan veltmeyer,
imperialism abad 21, kreasi wacana,Yogyakarta,2002,hal 10
[7]
Coen Husain pontoh, neoliberalisme, perspektif kelas,dari www.indoprogress.blogspot.com.diakses
tanggal 11 januari 2011
[8]
Brewer, Anthony, Marxist theory of imperialism, rouledge press, new York,2001,
page 88
[9] Marx and Engels Reader, edited
by Robert Tucker, in manifesto for
communist party,W.W.Norton & Company,New York USA,1978,Hal.
[10] UNDP dalam martin khor,hal 19.
[11] Pontoh husain,dalam,mcglobal
gombal,Yogyakarta,cubic0,hal xxi
[12] Ibid.
1 komentar:
long live TS :)
Posting Komentar