Oleh Aswin Baharuddin*
Abstract
Neoliberalism which implemented in Brazil development is proven as the cause of disparity and structural impoverishment. These agendas of neoliberal development apparently run side by side with the procedural democracy in Brazil. Both of them can’t be separated. This condition caused so many discontents from several groups, mainly from opposition movements both political parties and other leftist social movements. Lastly, this debate comes to an agreement namely to make neoliberalism as a common enemy and struggle for new values of participative democracy as the antitheses of procedural democracy. Those things then manifested in of the city which becomes their bases, namely Porto Allegre. This Alternative development model by launching participatory budgeting program. Through that program development runs and come from below so that development can be adjusted with people’s need. This program succeeds to increase people welfare and enlarge political participation in Porto Allegre. This success proves that progress in development can be achieved by participation and add more just alternative development model as well.
Keyword: Participative Development, Porto Allegre, Participatory Democracy, Participatory Budgeting .
Sedikit Pengantar
Model pembangungan dengan visi neoliberal saat ini banyak diperdebatkan karena setelah berjalan sekian lama dan dipraktekkan dibanyak tempat ternyata banyak menyebabkan kesenjangan. Kegagalan itu membuat banya pihak memberikan tawaran pembangunan yang lebih berkeadilan. Salah satu alternatif telah berlangsung di Porto Allegre Brazil. Tulisan ini bermaksud untuk menganalisa model pembangunan partisipatif di Porto Allegre. Tulisan ini akan fokus pada dua pokok bahasan utama terkait model pembangunan tersebut. Pertama tulisan ini akan memberikan gambaran kegagalan praktek pembangunan neoliberal di Brazil dan di bagian kedua akan membahas mengenai alternatif yang digunakan untuk mengatasi dampak dari model pembangunan neoliberal. Diakhir tulisan ini penulis memberikan beberapa catatan penting terkait proyeksi model pembangunan partisipatif di Porto Allegre tesebut.
Neoliberalisme dan Demokrasi
Menurut David Harvey, neoliberalisme adalah paham yang menekankan jaminan terhadap kemerdekaan dan kebebasan individu melalui pasar bebas, perdagangan bebas, dan penghormatan terhadap sistem kepemilikan pribadi. Ini merupakan kombinasi antara liberalisme, paham yang menekankan kemerdekaan dan kebebasan individu, dan doktrin pasar bebas dalam tradisi ekonomi neo-klasik. Para pendukungnya menempatkan idealisme politik tentang martabat manusia dan kemerdekaan individu, sebagai ‘nilai sentral peradaban.’ Mereka menganggap, nilai-nilai itu menghadapi ancaman bukan saja oleh fasisme, komunisme, dan kediktatoran, tetapi oleh segala bentuk campur tangan negara yang memakai idealisme kolektif untuk menekan kebebasan individu. [1]
Rumusan dasar ini terlihat dalam tulisan-tulisan F. A. Hayek, intelektual terdepan yang membela paham ini. Intinya, Hayek (1960, 1944) menolak segala bentuk intervensi negara karena dianggap membahayakan pasar dan kebebasan politik. Baginya, kebebasan adalah tidak adanya coersion, dan kebebasan paling utama adalah kebebasan ekonomi, yang berarti kebebasan berusaha tanpa kontrol negara. John Gray (1998) menyatakan, karya-karya Hayek bertumpu pada liberalisme klasik, yang menjunjung hak-hak individu dan keutamaan moral dari kebebasan individu, keunggulan pasar bebas dan keharusan pemerintah yang terbatas di bawah supremasi hukum. Rekan Hayek, Friedman (1962) memiliki pandangan sama. Dia menghormati liberalisme abad 19, yang menekankan kebebasan individu dan mendukung laissez faire sebagai cara untuk mengurangi peran negara. Sebaliknya, dia menganggap liberalisme abad 20 seperti yang berkembang di USA, terutama setelah 1930, adalah liberalisme yang terdistorsi oleh intervensi negara.[2]
Lebih lanjut Menurut Friedman (1962), ancaman utama kebebasan adalah pemusatan kekuasaan, karenanya itu, ruang lingkup kekuasaan pemerintah harus dibatasi. Tugas pokok pemerintah adalah melindungi kebebasan melalui penegakan hukum dan ketertiban, memperkuat kontrak-kontrak swasta, dan melindungi pasar yang kompetitif. Di sini perlu digarisbawahi, perhatian utama Friedman adalah kebebasan dalam konteks ‘competitive capitalism’ (berfungsinya korporasi-korporasi swasta dalam sistem berbasis pasar bebas), yakni sebuah sistem kebebasan ekonomi, untuk kemudian menuju kebebasan politik.[3] Paham ini kemudiaan dimanifestasikan ke dalam beberapa bentuk kebijakan utama. Kebijakan-kebijakan tersebut kemudiaan dijelaskan dalam Washington Consensus. “Awalnya, ada 10 kata kunci dalam konsensus ini; (1) disiplin fiskal, dengan menjaga defisit serendah-rendahnya, karena defisit yang tinggi akan mengakibatkan inflasi dan pelarian modal; (2) prioritas-prioritas belanja pemerintah, dengan mengurangi atau menghilangkan subsidi dalam sektor-sektor seperti pendidikan, kesehatan, dan lainnya; (3) reformasi perpajakan; (4) liberalisasi keuangan; (5) nilai tukar mata uang negara-negara sedang berkembang harus mengadopsi nilai tukar yang kompetitif agar memacu ekspor; (6) liberalisasi perdagangan, dengan meminimumkan hambatan-hambatan tarif dan perizinan; (7) penanaman modal asing harus dibuat seliberal mungkin karena dapat membawa masuk keuntungan modal dan keahlian dari luar negeri; (8) privatisasi perusahaan-perusahaan milik pemerintah; (9) deregulasi sektor ekonomi, karena pengaturan pemerintah yang kuat dan berlebihan dapat menciptakan korupsi dan diskriminasi terhadap perusahaan-perusahaan kecil yang memiliki akses rendah kepada pejabat-pejabat pemerintah di level lebih tinggi; (10) penghargaan terhadap hak milik harus ditegakkan, karena hukum yang lemah dan sistem peradilan yang jelek dapat mengurangi insentif untuk akumulasi modal (dikutip oleh M.Naim, 2000).”[4]
Dalam perkembangannya, ada penambahan 10 kata kunci baru. (1) Bank Sentral yang independen; (2) reformasi baik terhadap sektor publik maupun tata kelola sektor swasta; (3) fleksibilitas tenaga kerja; (4) pemberlakuan kesepakatan-kesepakatan WTO dan harmonisasi standar-standar nasional dengan standar-standar internasional di dalam kegiatan bisnis dan keuangan, tetapi dengan pengecualian (terutama tentang perburuhan dan lingkungan hidup); (5) penguatan sistem keuangan nasional untuk memfasilitasi liberalisasi; (6) pembangunan berkelanjutan; (7) perlindungan masyarakat miskin melalui program jaring pengaman sosial; (8) strategi pengurangan kemiskinan; (9) adanya agenda kebijakan pembangunan nasional; (10) partisipasi demokrasi (dikutip oleh M. Beeson & I. Islam, 2006).[5]
Program yang terakhir disebutkan dalam perluasan agenda Washington Consensus tersebut secara teoretik sangat terkait dengan posisi teoretik yang dipegang oleh Friedman dan Schumpeter. Bagi Friedman dan Schumpeter, pasar bebas dan PEMILU merupakan proses-proses yang saling memperkuat atau yang satu dianggap sebagai penciptaan prakondisi-prakondisi untuk yang lainnya. Jadi liberalisasi ekonomi akan menjadi prakondisi bagi liberalisasi politik dan begitu juga sebaliknya. Hal tersebut ditolak oleh pemikir-pemikir seperti Shapiro, Meiksins Wood dan Overloop yang berpendapat bahwa “muatan demokratis” demokrasi kapitalis adalah produk dari gerakan rakyat dan perjuangan kelas, bukannya elemen integral dari ekspansi hubungan-hubungan pasar. Hasil dari gabungan antara kapitalisme dan demokrasi tampak sebagai sebuah perkembangan kontradiktif yang ditopang oleh ekuilibrium politik dimana kekuatan-kekuatan demokrasi harus selalu waspada terhadap kecenderungan pola otoritarianisme yang inheren dalam kekuasaan kapitalisme.[6]
Model Demokrasi lainnya adalah demokrasi partisipatif, menurut Coen Husain Pontoh hal ini bisa dilakukan dengan mengubah hubungan kekuasaan yang tadinya sangat elitis dalam era neoliberalisme menjadi berbasis massa. Dengan berbasis massa artinya rakyat terlibat langsung dalam menjalankan dan mengontrol jalannya kekuasaan. Hal tersebut tercermin dalam struktur, program dan komposisi keanggotaannya. Demokrasi dalam era neoliberalisme banyak direduksi makna dan prakteknya menjadi hanya sekedar demokrasi prosedural sehingga berpotensi besar dibajak oleh oligarki. Manifestasi dari demokrasi partisipatoris ini dapat kita lihat dengan kepemilikan dan kontrol buruh atas tempat kerjanya, kontrol ekonomi melalui koperasi, kepemilikan publik dan jaringan antara tempat kerja dan komunitas, atau pendudukan dan penguasaan tanah oleh petani tak bertanah.[7]
Kegagalan Neoliberalisme dan Demokrasi Prosedural di Brazil
Pada tahun 1985 rakyat Brazil merayakan kebebasan mereka dari rezim otoriter militer dan memulai agenda demokratisasi. Demokrasi dan pembangunan kembali perekonomian Brazil kemudian menjadi agenda utama dan kata kunci bagi pemerintah Brazil pasca rezim diktator. Tetapi yang dipraktekkan justru menyalahi nilai demokrasi substansial yang diperjuangkan oleh rakyat Brazil. Pemerintah justru mengkolaborasikan kebijakan-kebijakan Neoliberalisme dengan demokrasi prosedural. Kolaborasi tersebut kemudian melahirkan elit-elit dan oligharki yang men-sabotase demokrasi yang berjalan beriringan dengan para pemodal besar dari luar negeri. Hasilnya adalah potret kesenjangan ekstrim dengan mayoritas penduduk berada dalam posisi yang dirugikan. Berikut saya sajikan potret kesenjangan tersebut dari beberapa hasil penelitian yang dilakukan oleh para pakar yang concern terhadap fenomena ini.
Berdasarkan data hasil penelitian Hilary Wainwright menunjukkan, dari 170 juta penduduk Brazil, lebih dari 52 juta atau sekitar 34 persen-nya masih berada dibawah garis kemiskinan. Dalam hasil penelitian ini juga dipaparkan bahwa pendapatan 1 persen penduduk yang kaya bertambah lebih dari 13,7 persen pendapatan nasional . Jumlah tersebut sama dengan persentase yang dibagi oleh setengah penduduk miskin Brazil.[8] Pada saat seorang intelektual terkemuka Brazil beraliran sosial demokratik, Fernando Henrique Cardozo terpilih menjadi presiden pada tahun 1994 perubahanpun belum banyak terjadi. Cardozo masih melanjutkan praktek pembangunan Neoliberal warisan pemerintahan sebelumnya. formula Washington Consensus seperti pembukaan pasar domestik bagi barang-barang dari luar, pelaksanaan privatisasi BUMN, menghapus hambatan modal untuk berlalu lalang dan penerapan tingkat suku bunga yang tinggi masih secara tekun di-amini oleh pemerintahan Cardozo.
Dampak dari konsistensi pelaksanaan model pembangunan berbasis Neoliberal tersebut adalah kesenjangan ekstrim yang bercorak kelas. Paket-paket kebijakan tersebut secara struktural telah berhasil membuat kesejahteraan hanya teralokasi kepada elit dan peengusaha yang diuntungkan dari praktek pembangunan ini. Menurut harian Folha de Sao Paulo, “kesenjangan di Brazil meningkat antara tahun 1992 dan 1998, dan proporsi upah untuk pendapatan nasional menurun dari 44 persen GDP pada tahun 1993 menjadi 36 persen GDP pada akhir dekade”.[9] Data tentang kegagalan rezim demokratik yang menjalankan pembangunan dengan neoliberalisme sebagai acuannya ini juga diungkapkan oleh Luiz Carlos Delorme Prado dan Leonardo Weller. Program privatisasi misalnya, setelah negara melepas kepemilikannya kepada swasta bermodal besar, para pemilik baru ini dengan alasan efisiensi melakukan pemecatan massal terhadap buruh.[10]
Kondisi masyarakat Brazil semakin terpuruk setelah negara menghentikan tanggung jawab sosialnya dengan dalih yang sama dengan para pengusaha pengejar rente di atas. Dampaknya dirasakan langsung oleh penduduk Brazil, sejak tahun 1990an, jumlah pegawai sektor publik berkurang sebesar 43,9 persen. Perusahaan-perusahaan yang dulunya dimiliki negara, setelah dialihkan kepemilikannya kepada swasta, kehilangan lapangan kerja sebanyak 560 ribu pada semua level dari tahun 1989 hingga 1999. Jumlah pengangguran dari dengan delapan atau lebih tahun pendidikan (terdidik) meningkat menjadi 620 persen. Jumlah tersebut jauh lebih besar melampaui tingkat pengangguran dengan kurang dari satu tahun pendidikan yang hanya tumbuh 189 persen.[11]
Kekacauan perekonomian Brazil ditambah lagi oleh terus membengkaknya hutang negara, baik domestik maupun luar negeri. Hutang luar negeri Brazil pada tahun 1994 tercatat sebesar US$ 148 milyar bertambah menjadi US$ 226 milyar pada tahun 2001. Dampak lanjutan dari hutang luar negeri ini adalah berkurangnya anggaran sektor publik karena 10 persen dari GNP harus digunkan untuk membayar bunga hutang lura negeri tersebut ((periode 1994-2001). Selain terjerat hutang luar negeri, pemerintah Brazil juga terus menerus menambah jumlah hutang domestic. Meskipun pemerintah Brazil tidak mengivestasikan modalnya kedalam bisnis swasta, tapi hutang domestik pemerintah justru meningkat drastis setelah tahun 1994. Antara tahun 1994 hingga 2001, hutang domestik tumbuh sebesar 330 persen, dari BRL 153 milyar pada tahun 1994 menjadi BRL 661 milyar ditahun 2001.[12]
Praktek-praktek kebijakan neoliberal yang diyakini oleh pemerintah Brazil sebagai jalan menuju kesejahteraan tersebut secara jelas telah menghasilkan kekacauan multisektor. Praktek kebijakan yang tidak berpihak kepada mayoritas rakyat tersebut tentulah bukan hasil dari demokrasi yang diinginkan rakyat Brazil. Hak-hak demokratik rakyat dalam model pembangunan neoliberal ini direduksi sedemikian rupa hingga kehilangan substansinya. Hak-hak rakyat kemudian hanya disalurkan melalui agenda-agenda prosedural seperti PEMILU, tapi setelah itu rakyat seperti sudah menyerahkan keselurahan hidupnya pada elit-elit berkuasa yang terpilih. Fenomena ini memperlihatkan bagaimana rakyat Brazil sekali lagi jatuh ke dalam kediktatoran yang memasung nilai-nilai demokrasi. Kalau sebelumnya hak demokraktik mereka direnggut oleh pemerintahan diktator militeristik, sekarang rakyat Brazil terjajah oleh kediktatoran Pasar (baca: Neoliberalisme).
Anggaran Partisipatif : Ideologi dan Manifestasinya
Kegagalan neoliberalisme dan demokrasi prosedural dalam menciptakan kebebasan yang hakiki serta kesejahteraan bagi masyarakat luas menimbulkan banyak ketidakpuasan dan berbagai gagasan untuk melakukan perubahan dan memberi gagasan model pembangunan alternatif. Dalam konteks pembangunan di Brazil, gagasan yang muncul kemudian tidak terlepas dari pengalaman buruk Brazil di dua masa yang berbeda yakni, rezim diktator militer dan rezim demokraktik dengan model pembangunan neoliberal. Dalam catatan Coen Husain Pontoh, upaya untuk mencari alternatif tersebut dapat kita telusuri melaui perdebatan panjang antar gerakan-gerakan kiri di Brazil.
Perdebatan itu melibatkan partai-partai politik seperti Partido Democratico Trabalhista (Democratic Workers Party, PDT), Partido Trabalhista Brasileiro (Brazilian Labour Party), dan juga turut aktif dalam perdebatan ini adalah gereja radikal, serikat-serikat buruh, Kristen kiri, gerakan-gerakan sosial dan kaum Marxist militan yang beraliran Trotskyst, Castroist, dan Maoist. Perdebatan tersebut mengkristal pada pembentukan Partido dos Trabalhadores (Workers Party/PT) pada tahun 1980. Tujuan dari pembentukan partai ini adalah mengemansipasi kelas pekerja dengan model yang berbeda dari Stalinisme dan sosial demokrasi. Menurut Raul Pont, mantan direktur serikat guru, ideologi yang di anut PT adalah Demokrasi Sosialis.[13]
Momentum untuk menjalankan model pembangunan alternatif ini akhirnya bisa diwujudkan oleh PT setelah berhasil memenangkan PEMILU pada tahun 1988 di tiga kota berpenduduk besar yakni, Porto Allegre, Medianeira Horizonte, dan Belem. Kemenangan tersebut tidak lepas dari semakin dirasakannya kegagalan pembangunan neoliberal dan semakin terkonsolidasinya PT sehingga berhasil membangun partisipasi politik rakyat. Setahun setelah terpilih, Olivio Dutro walikota dari PT menggulirkan kebijakan Orcamento Participativo (Anggaran Partisipatif). Pembahasan mengenai program Anggaran Partisipatif akan saya bagi menjadi tiga pokok pembahasan. Pertama saya akan membahas apa, bagaimana dan siapa saja aktor yang menjalankan program ini, kedua adalah mengenai ideologi pembangunan dari program ini serta yang terakhir adalah bagaimana hasil dari program Anggaran Partisipatif ini.
Menurut defenisi Sergio Baierle[14] Anggaran Partisipatif ini adalah kontrak sosial dari bawah berbasis partisipasi langsung dalam menyusun anggaran yang berkeadilan. Menurut Baierle, Anggaran Partisipatif ini bukanlah sekedar program pemerintah tetapi lebih luas lagi merupakan proses menuju pembangunan kontrak sosial baru. Dari penjelasan tersebut dapat kita analisa bahwa pelaksanaan program ini keseluruhan prosesnya baik sejak perencananaan/penyusunan bahkan sampai dengan pengawasan berbasis pada partisipasi massa disetiap fasenya. Hal ini tentunya penting untuk dilihat adalah partisipasi ini merupakan antitesa dari model-model demokrasi prosedural yang berjalan di Brazil.
Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana program ini dilaksanakan dan siapa saja aktor yang menjalankannya. Secara garis besar pelaksanaan program ini berjalan dalam 3 tahapan utama. Dari penyusunan hingga disepakati, Anggaran partisipatif ini sebelumnya memilih langsung delegasi mereka untuk dewan rakyat. Dewan rakyat ini merupakan perwakilan dari asosiasi-asosiasi komunitas dan kelompok-kelompok lokal lainnya. tetapi keberadaan dewan rakyat ini sama sekali tidak membatasi partisipasi langsung warga karena warga juga terlibat langsung dalam diskusi-diskusi terkait penyusunan Anggaran Partisipatif ini. Tahapan-tahapan tersebut meliputi Sosialisasi, diskusi dan memilih proposal anggaran pemerintah dalam dewan Anggaran Partisipatif, dan meminta persetujuan dari walikota dan parlemen lokal.
Pada masa sosialisasi warga diberikan informasi-informasi penting terkait penyusunan anggaran ini. Sosialisasi ini mendiskusikan anggaran kota, keterbatasan dan alternatif-alternatifnya. Diskusi ini berlangsung dalam 2 putaran utama serta banyak diskusi sisipan yang hasilnya berupa prioritas-prioritas alokasi dana. Tahapan kedua adalah diskusi dan pemilihan proposal anggaran, pada tahapan ini dewan akan menguji apakah aturan sudah terpenuhi. Tahap ketiga adalah meminta persetujuan walikota dan parlemen lokal. Proposal yang disusun sejak awal tersebutlah yang kemudian dijadikan indikator untuk mengontrol alokasi anggaran. Pelaksanaan Anggaran Partisipatif ini tidak berhenti sampai disitu tetapi terus dievaluasi dan dikontrol melalui diskusi-diskusi forum regional secara tematik.
Anggaran Partisipatif ini haruslah dilihat sebagai manifestasi dari sebuah idiologi pembangunan bukan sekedar dianalisis sebagai sebuah metodologi teknis dalam menjalankan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, keberadaan dari program ini tidak bisa dilepaskan dari gagalnya model pembangunan neoliberal, dalam artian program ini merupakan sebuah gerakan melawan neoliberalisme. Upaya untuk melakukan demokratisasi disemua sektor termasuk perekonomian melalui anggaran partisipatif ini juga merupakan kritik terhadap demokrasi prosedural yang hadir untuk memuluskan jalannya agenda-agenda neoliberal. Upaya membangun partisipasi ini juga untuk menanggulangi kesenjangan kelas yang terjadi secara struktural dan semakin parah setiap harinya.
Anggaran partisipatif inipun akhirnya memberikan dampak psoitif dalam pembangunan kota Porto Allegre. Program ini berhasil menjalankan pembangunan sesuai dengan kebutuhan utama warganya. Hal ini terlihat dengan semakin besarnya anggaran yang dialokasikan untuk perumahan yang merupakan kebutuhan dasar warga. Program inipun mulai dicontoh dibanyak tempat bahkan Bank Dunia secara khusus memberikan pujian atas keberhasilan program ini. Secara politik program ini juga mampu menghapus sekat-sekat ideologis antar partai politik di kota tersebut.
Beberapa Catatan tentang Anggaran Partisipatif di Porto Allegre
Neoliberalisme yang dipraktekkan dalam pembangunan Brazil terbukti telah menyebabkan kesenjangan dan pemiskinan struktural. Agenda-agenda pembangunan neoliberal ini ternyata berjalan beriringan dengan demokrasi prosedural. Di Brazil, kedua fenomena tersebut bagaikan dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan. Kondisi ini menyebankan munculnya banyak ketidakpuasan di berbagai kalangan di Brazil, terutama dari gerakan-gerakan oposisi baik partai politik maupun gerakan sosial berhaluan kiri. Akhirnya pergulatan gagasan berujung pada sebuah kesepakatan yakni menjadikan neoliberalisme sebagai musuh utama dan mengusung nilai-nilai demokrasi partisipatif sebagai antitesa terhadap demokrasi prosedural.
Kesemua hal tersebut kemudian dimanifestasikan di salah satu kota yang menjadi basis mereka yakni Porto Allegre. Model pembangunan alternatif ini dimulai dengan meluncurkan program Anggaran Partisipatif. Melalui program tersebut masyarakat dapat terlibat langsung dalam penyusunan anggaran kota secara aktif. Melalui program ini pembangunan berjalan atau berasal dari bawah sehingga pembangunan akan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Program ini berhasil meningkatkan taraf hidup dan partisipasi politik di Porto Allegre. Keberhasilan ini membuktikan bahwa kemajuan dalam pembangunan dapat terlaksana dengan partisipasi serta menambah alternatif Pembangunan yang Berkeadilan.
Ada beberapa catatan yang penting untuk kita tekankan dalam proses pembangunan partisipatif di Porto Allegre ini. Yang pertama adalah, model pembangunan ini belum berjalan secara luas, masih di beberapa daerah saja belum diadaptasi secara nasional. Padahal model pembangunan seperti ini terbukti lebih baik ketimbang visi dominan dalam pembangunan-pembangunan negara-negara dunia yakni Neoliberalisme. Makanya penting untuk kembali memformulasikan kebijakan seperti ini agar dapat berjalan secara nasional. Untuk mewujudkan hal tersebut kekuasaan pada skala nasional harus terlebih dahulu diambil alih dari para pengusung neoliberalisme. Berikutnya yang perlu diwaspadai adalah upaya-upaya untuk memisahkan program ini dari ideology awalnya. Apabila itu terjadi program ini akan direduksi menjadi sekedar kebijakan pemerintahan yang bersih dan transparan tanpa berpretensi untuk menyelesaikan akar masalahnya yakni model pembangunan kapitalistik.
*Penulis adalah alumni Jurusan Hubungan Internasional Unhas, kini sedang melanjutkan studi S2 di Universitas Gadjahmada pada jurusan yang sama.
Daftar Pustaka
Mas’oed, Mohtar. 1998. Merkantilisme dan Strukturalisme: Gagasan Anti Liberal,Bahan Kuliah FISIPOL Universitas Gadja Mada: Yogyakarta.
Engels, Frederick. 2006. Tentang Kapital Marx, Penerbit Ultimus dan Yayasan AKATIGA: Bandung, hal. 86-87
Winarno, Budi. 2009. Pertarungan Negara VS Pasar, Medpress: Yogyakarta.
Sugiono, Muhadi. 2006. Kritik Antonio Gramsci tehadap Pembangunan Dunia Ketiga. Pustaka Pelajar: Yogyakarta, hal. 97-98.
Harvey, David .2009. Neoliberalisme dan Restorasi Kelas Kapitalis. Resist Book: Yogyakarta,
Hiariej, Eric.2005. Materialisme Sejarah Kejatuhan Soeharto:Pertumbuhan dan Kebangrutan Kapitalisme Orde Baru. IRE Press: Yogyakarta.
Petras, James dan Henry Veltmeyer. 2002. Imperialisme Abad 21. Kreasi Wacana: Yogyakarta.
Baswir, Revrisond. 1999. Dilema Kapitalisme Perkoncoan.Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Pontoh,Coen Husain dkk. 2005. Gerakan Massa Menghadang Imperialisme Global. Penerbit Resist Book: Yogyakarta.
Pontoh, Coen Husain.2005. Malapetaka Demokrasi Pasar. Penerbit Resist Book: Yogyakarta.
Sumber Internet
Arianto Sangaji,2009. Neoliberalisme. http://indoprogress.com/2009/08/neoliberalisme-1.html , Diakses Pada 21 januari 2011.
[1] David Harvey,2009. Neoliberalisme dan Restorasi Kelas Kapitalis. Resist Book: Yogyakarta, hal. 3.
[2] Arianto Sangaji,2009. Neoliberalisme. http://indoprogress.com/2009/08/neoliberalisme-1.html , Diakses Pada 21 januari 2011.
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Petras, James dan Henry Veltmeyer. 2002. Imperialisme Abad 21. Kreasi Wacana: Yogyakarta. Hal. 193
[7] Pontoh,Coen Husain dkk. 2005. Gerakan Massa Menghadang Imperialisme Global. Penerbit Resist Book: Yogyakarta. Hal.xi
[8] Ibid. hal. 41
[9] Ibid. hal. 42
[10] Ibid.
[11] Ibid.
[12] Ibid.
[13] Ibid. hal. 44
[14] Sergio Baierle adala aktivis Cidade, salah satu LSM yang aktif menyusun program Anggaran Partisipatif di Brazil
0 komentar:
Posting Komentar