Review Film Dokumenter

Review Film Dokumenter
Inside the Revolution: A Journey Into the Heart of Venezuela

Program

Program
Kami melakukan beberapa aktivitas seperti diskusi, terbitan berkala, aksi langsung...

Event

Event
Dalam waktu dekat akan mengadakan Festival Anti-Globalisasi. Sebuah kampanye perlawanan terhadap globalisasi...

Keblinger

Keblinger

Value Chain dalam Industri Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) AQUA; Sebuah Laporan Riset

| Kamis, 19 Mei 2011

“Indeed, while the share of developing countries in world manufacturing exports..has been expanding rapidly, the income earned from such activities by these countries does not appear to share in this dynamism…Although developed countries now have a lower share in world manufacturing exports, they have actually increased their share in world manufacturing value-added...”Rubens Ricupero, Secretary-General of UNCTAD[1]

Air yang sangat berharga; Sebuah Introduksi
Air, adalah salah satu jenis sumber daya alam yang terbarukan, karena produksi air secara alamiah tidak bergantung pada seberapa besar cadangan fosil yang ada didalam perut bumi. Dalam proses produksinya, air (H2O)secara natural hanya sedikit mengalami proses kimiawi, yaitu hasil persenyawaan gas hidrogen (H2) dan oksigen (O2), dan dibantu dengan proses fisika berupa evaporasi (penguapan) dari tanah ke udara dan turun kembali dengan bantuan gaya tarik bumi (gravitasi) dalam bentuk hujan, dan masuk ke tanah menjadi air permukaan (mata air) dan air tanah. Proses dan mekanisme siklik yang sederhana tersebut, membuat air akan terus diproduksi oleh alam. Mengenai kualitas, jangan sekalipun meragukan proses-proses natural dan alamiah, dan inilah yang kemudian membuat air sangat berpengaruh pada segala kehidupan manusia, termasuk poitik, sosial, budaya, dan ekonomi.
Dalam konteks ekonomi, keyakinan dan optimism tentang lifecycle dan kualitas air alam yang cukup tinggi, membuat air mulai dilirik untuk dijadikan komoditas perdagangan yang sangat menguntungkan di dunia, bahkan di Indonesia. Sejak tahun 1973 hingga saat ini, beberapa perusahaandi Indonesia memanfaatkan wacana air minum yang sehat dan tanpa diolah lagi sebagai core bisnis mereka, dan upaya membentuk opini publik ini berhasil dengan baik. Padahal, sebagaimana telah diketahui, sebelum bisnis air minum instant ini mulai marak di Indonesia di era tahun 70-an, kebanyakan masyarakat Indonesia masih teguh memegang tradisi memasak air sebelum diminum.
Celah kultural inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh beberapa perusahaan bottled water—air minum dalam kemasan (AMDK) di Indonesia seperti Aqua, Club, Vit, dan masih banyak lagi merek-merek AMDK yang keberadaannya saat ini hampir merata tersebar di seluruh Indonesia, untuk mendapatkan value add dari komoditas yang bernama “air” tersebut. Jauh setelah air telah dijadikan komoditas di Indonesia, pada tahun 1992 Konferensi Water and Sustainable Development di Dublin, baru mengeluarkan pernyataan yang kemudian dikenal dengan Statement Dublin sebagai berikut:

Water has an economic value in all its competing uses and should be recognized as an economic good. Past failure to recognize the economic value of water has led to wasteful and environmentally damaging uses of the resource. Managing water as an economic good is an important way of achieving efficient and equitable use, and of encouraging conservationand protection of water resources” [2]

Sejak saat itu, global water menjadi isu yang sangat menarik, seiring dengan mulai diberlakukannya pemberian harga (water pricing) atas air. “Peng-harga-an” ini awalnya ditujukan untuk mengatur penggunaan dan memberikan proteksi terhadapsumber daya air sebagai economic good sebagaimana yang telah diatur dalam Statement Dublin diatas. Tujuan selanjutnya adalah agar aktivitas withdrawal, consumption, dan, use for industry dapat diukur, dan datanya kemudian dapat digunakan untuk pengembangan sains. [3]
Namun, persoalan yang kemudian muncul nampakpada indikator yang digunakan untuk menetapkan harga air di setiap negara, mengingat dari data yang tersedia,nampaknya terdapat standar penetapan harga air yang berbeda-beda di setiap negara. Dari rilis World Water Development Report (WWDR)tahun 2001, harga air yang berada di negara maju adalah sebagai berikut:

Country
US$/m3
European Union
0,21
United States
0,51
Canada
0,40
Australia
0,50

                Modifikasi dari WWDR, 2001.


Dan harga air yang sumbernya berada di negara berkembang adalah sebagai berikut:
City/Contry
Domestic Use Cost (US$/m3)
Price by informal vendors
(US$/m3)
Faisalabad/ Pakistan
0.11
7.38
Colombo/ Sri Lanka
0.02
0.10
Bangkok / Thailand
0.16
1.62
Mumbai/ India
0.03
1.12
Dhaka / Bangladesh
0.08
0.42
Manila / Philippines
0.11
4.74
Bandung / Indonesia
0.12
6.05
Jakarta / Indonesia
0.16
0.31
  Modifikasi dari Second Water Utilities Data Book, Asian Development Bank, dalam WWDR, 2001.

Bila diperbandingkan, maka harga air per meter kubik (m3) di negara-negara maju bervariasi antara US$0,21 di Uni Eropa dan US$0,51 di Amerika Serikat, dan bila dirata-ratakan, harga ini akan menjadi US$0,4, sementara itu harga air di negara berkembang, bila dirata-ratakan akan berharga hanya US$0,09. Ini berarti harga air di negara maju, lebih mahal dari air di negara berkembang, dan untuk pembelian air dari tempat-tempat penjualan air yang tidak resmi di negara berkembang, harganya dapat lebih mahal berkali-kali lipat dari harga yang telah ditetapkan, tentu saja dengan kualitas yang perlu dipertanyakan.
Fenomena politik harga air global seperti yang diilustrasikan diatas tentu sangat konfliktual sifatnya. Dan sifat konfliktif air dalam wacana ekonomi politik global, menjadikan air terus dijadikan sebagai bahan kajian akademik maupun praksis, hingga ke persoalan human security dan bahkan terorisme. [4] Air kemudian menjadi sangat bernilai, dan bagi perusahaan, yang terpenting adalah bagaimana mereka bisa mendapatkan nilai tambah dari komoditas bernilai yang mereka perdagangkan itu.

Fenomena Aqua dalam Industri AMDK Indonesia; Sebuah Analisis GVC
Aqua adalah sebuah merek dagang AMDK yang diproduksi oleh PT. Aqua Golden Missisippi (AGM) yang didirikan oleh Tirto Utomo, sebelum memasuki masa pensiun pada bagian pemasaran Pertamina pada tahun 1973. Pria keturunan Tionghoa kelahiran Wonosobo Jawa Tengah ini, dianggap telah berhasil menjadi pionir bisnis AMDK hingga kemudian dapat melebarkan sayap bisnisnya hingga ke negara lain (ekspor). Tahun 1987, produk Aqua telah diekspor ke berbagai negara seperti Singapura, Malaysia, Fillipina, Australia, Maldives, Fiji, Timur Tengah dan Afrika.[5] Sumber lain juga menyebutkanSingapura, Portugal, Timor Timur, Jepang, Malaysia, dan Hong Kong sebagai tujuan ekspor.[6] Menurut laporan survey Zenith International, sebuah lembaga penelitian yang berpusat di London dan memiliki spesialisasi bidang penelitian food & beverage pada tahun 2003, Aqua dinobatkan sebagai merek AMDK terbesar di Asia Pasifik, sekaligus sebagai AMDK terbesar kedua didunia setelah merek Evian asal Amerika Serikat.[7]
Apa yang telah berhasil diraih oleh Aqua, tentunya sangat memotivasi banyak pihak untuk mengetahui lebih jauh, bagaimana resep keberhasilan PT. AGM dalam mengembangkan bisnisnya. Karena bisnis AMDK seperti Aqua ini merupakan suatu industri yang mempunyai keterkaitan cukup luas dalam rantai pelayanan untuk sampai ke konsumen, maka bukanlah sesuatu yang salah jika kiranya kita menggunakan analisis global value chain (GVC)-Rantai Nilai Global untuk dapat lebih memahami bagaimana pola dan proses “memberi nilai tambah” Aqua lebih jauh.
Pada dasarnya, semua jenis komoditas tidak memiliki value add/nilai tambah, kecuali telah melalui proses tertentu yang menjadikannya sebuah produk. Letak nilai tambah,kebanyakan ada pada proses bagaimana komoditas tersebut kemudian berubah menjadi produk, dipasarkan, dan dikonsumsi. Kaplinsky dan Morris menjelaskan proses itu dalam 4 tahapan sederhana, yaitu design and product development, production, marketing, dan consumption/recycling sebagai berikut: [8]
        
Nilai tambah yang diharapkan muncul pada setiap tahapan proses tersebut, membuat sebuah komoditas menjadi lebih berharga dalam bentuk sebuah produk. Memperhatikan tahapan sederhana diatas, dapat dikatakan bahwa analisis ini menggunakan pendekatan “mengikuti komoditas”danmencermati keterlibatan para aktor yang ada dalam rantai nilainya, (dalam konteks Aqua yang berbahan baku air) mulai dari sumber bahan baku, melewati proses produksi, hingga komoditas tersebut sampai pada aktor terakhir, konsumen.
Dari data yang dapat diakses dan dikumpulkan melalui sebuah penelitian sederhana[9] dapat disimpulkan bahwa jalur interaksi konvensional dalam rantai nilai Aqua dapat dilihat dalam skema sebagai berikut:
 
Pada awalnya, Aqua melakukan aktivitas memberikan nilai tambah ini secara terpisah-pisah, artinya, sejak dari aktifitas ekstraksi air dari sumbernya, kemudian mengolahnya menjadi air yang ready to drink, lalu dikemas kedalam packaging yang sesuai, disalurkan melalui jalur distribusi tertentu, dan seterusnya. Aktifitas ini sangat bergantung pada bagaimana perusahaan melakukan investasi yang diperlukan untuk misalnya, merawat dan mengelola sumber air, membeli komponen komponen filtrasi air yang harus diimpor dari luar negeri, mendesain dan membuat botol atau kemasan pada pihak lain, mengadakan jalur distribusi baru dan merapikanyang telah ada, dan seterusnya.
Tak heran, karena proses pemberian nilai tambah yang demikian panjang, pada era tahun ‘70-‘80an harga sebotol Aqua 1 Liter, lebih mahal dari harga minyak tanah dengan ukuran yang sama.[10] Pada sisi yang lain, kebutuhan masyarakat Indonesia dalam mengkonsumsi AMDK meningkat cukup tajam. Sebuah laporan yang dirilis oleh Pasific Institute, sebuah perusahaan riset yang concern pada masalah air minum global pada tahun 2006, mengungkapkan bahwa terdapat kenaikan tingkat konsumsi AMDK perkapita Indonesia dari tahun 1999 sampai 2004 seperti dalam tabel dibawah ini:
Sumber: Beverage Marketing Corporation 2005dalamBottled Water, Pacific Institute for Studies in Development, Environment, and Security, 2006

Dari gambaran data pada tabel diatas, kita dapat berasumsi bahwa pasar AMDK akan terus bertumbuh, with or without Aqua. Tetapi bagi Aqua, data tersebut bisa jadi merupakan pijakan untuk merubah image bahwa air Aqua seharga dengan minyak tanah/bensin. Berangkat dari data yang serupa, Aqua melalui PT AGM mengeluarkan kebijakan bisnis yang berdasar pada perhitungan rasional cost and benefit yang tepat, yaitu dengan melakukan diferensiasi harga/pricing strategies. Untuk mendukung program diferensiasi harga, sejak tahun 1995 Aqua membuat inovasi dengan menyempurnakan proses produksinya/efisiensi usaha dalam bentuk pengadaan alat pembuat kemasan botol plastik dan menempatkan perusahaan distribusi yang dimiliki sendiri, pada setiap pabriknya. Dengan model proses produksi yang in-line seperti ini, harga Aqua dipasaran dapat lebih ditekan, dan produknya dapat lebih accessible di pasar. Hal itu dibuktikan dengan kinerja Aqua di pasar Indonesia yang grafiknya meningkat tajam, sejak tahun 1995.
Pada sisi itu, kebijakan PT AGM terbukti berhasil memberikan nilai tambah pada produk AMDK Aqua, dan nilai tambah tertinggi yang didapatkan Aqua terletak pada aktivitas packaging dan marketing. Dengan kinerja yang baik seperti itu, PT AGM yang telah menerapkan strategi listing pada Bursa Efek Indonesia (BEI) pada tahun 1990 untuk menarik simpati psikologis konsumennya, menerima pinangan Danone, sebuah perusahaan multi nasional asal Perancis pada tahun 1998, untuk melakukan merger/akusisi perusahaan dengan komposisi kepemilikan saham awal, yaitu 40% untuk Danone, sisanya sebesar 60% untuk PT AGM. Dari 60% kepemilikan saham tersebut, PT AGM kemudian mendirikan perusahaan holding (group) yang juga secara khusus menangani masalah-masalah manajemen perusahaan dan yang menangani diversifikasi produksi, yaitu PT.Tirta Investama (PT TIV), perusahaan yang khusus menangani masalah supply dan distribusi, yaitu PT. Tirta Sibayakindo (PT TIS), dan perusahaan asal Australia yang khusus menangani penjualan produk-produk AMDK Aqua di Asia Pasifik, yaitu Frucor Beverages Australia, Pty.Ltd.[11]  Sejauh itu, akusisi dengan Danone Perancis terbukti menambah kinerja atau performance Aqua hingga saat ini, dengan strategi dan regulasi a la Danone, Aqua bisa mengusai lebih dari 90% share pasarAMDK Indonesia dalam dua tahun berturut-turut, yaitu tahun 2007 dan 2008.[12]










 Namun pada sisi yang lain, semua bentuk keberhasilan yang telah dicapai Aqua dalam menciptakan value add bagi produk AMDK-nya, perlu juga dilihat dalam kerangka atau perspektif yang lain. Industri AMDK Indonesia harus berupaya out of the box dari success story milik Aqua, jika ingin masuk kedalam jaringan bisnis global dengan value chain yang juga global.

Perspektif “Out of The Box” dalam Jaringan Bisnis AMDK Aqua
Perspektif ini menyandarkan diri pada beberapa pertanyaan seperti; Apakah air dapat disamakan sebagai komoditas seperti halnya sayuran, kacang, coklat, atau, kopi dalam sektor agro-industri? Siapa yang paling diuntungkan dalam jaringan bisnis AMDK Aqua? Konsumen? Pengecer? Distributor? Wholesaler? Atau bahkan Pemerintah? Kemana perginya keuntungan yang didapatkan dari setiap transaksi yang terjadi? Seberapa besar pengaruh keberadaan pabrik dengan lingkungan sekitar, termasuk dengan para pekerja dan keluarganya? Apa dan bagaimana peran pemerintah dalam melihat potensi ketimpangan yang terjadi? Adakah produk regulasi yang mengatur interaksi pemerintah dengan pengusaha AMDK?
Berbagai pertanyaan ini, dapat digunakan sebagai dasar analisis untuk memperkuat argumen bahwa, Aqua dengan segala kecanggihan sistem, model manajemen, dan juga kepiawaian marketingnya, telah melakukan praktik monopoli terhadap nilai tambah yang kemungkinan besar dapat di-share dengan pihak lain, dalam value chain yang terjadi. Argumentasi itu dapat dijelaskan dengan menggunakan/melihat peta aktor yang terdapat pada rantai nilai tambah sebagai berikut:

Dengan berupaya melihatnya lebih kritis, sebenarnya kita bisa melihat bahwa atas nama bisnis, air yang merupakan sumber daya alam yang dilindungi oleh negara untuk dimanfaatkan demi kemakmuran rakyatnya, telah diperjual-belikan dipasar secara eksklusif dan telah diberi harga karena sifat pentingnya bagi kehidupan, dan sejak saat itu air menjadi komoditas karena memiliki nilai ekonomis.[13] PT AGM telah mendapatkan keuntungan yang tak ternilai harganya dari aktivitas ekstraksi air dari sumber mata air. Jika harga air seperti yang tersebut pada bagian intriduksi tulisan ini memang berlaku, maka bila dibandingkan dengan keuntungan yang didapatkan selama kurang lebih 27 tahun beroperasi, dapat dikatakan PT AGM telah menyedot air yang dilindungi oleh konstitusi dengan gratis, karena Aqua dijual dengan harga yang berkali-kali lipat harganya. Ironisnya, air alam yang merupakan objek konstitusional, hingga saat ini masih merupakan barang yang langka, sehingga tidak accessible bagi masyarakat sekitar. Jangankan untuk diminum, untuk aktivitas mandi, cuci, kakus (MCK) saja, masyarakat masih harus menunggu respon belas kasihan PT AGM untuk membangun sarananya.
Pesatnya perkembangan populasi penduduk dan industri dengan model penataan dan pengelolaan limbah berbahaya yang kebanyakan masih konvensional, menimbulkan wacana yaitu bagaimana kemudian air alam yang sehat dapat juga diakses oleh warga masyarakat tanpa masyarakat harus membeli AMDK, karena Pasal 33 UUD 1945 sebagai konstitusi negara, masih mengamanatkan itu. Ketersediaan bahan baku air minum ini kemudian sebaiknya menjadi perhatian bersama karena terkait dengan sumber, kuantitas, dan kualitas bahan baku air itu. Sebuah report yang dikeluarkan oleh New FAO Aquastat, November 2005 (estimasi tahun 2000) menggambarkan bahwa jumlah populasi yang terus bertambah, selalu diiringi penarikan air besar-besaran dari sumbernya, yang bisa dilihat pada tabel dibawah ini:

Country
Year
Total Freshwater Withdrawal
Per Capita Withdrawal
Domestic Use
Industrial Use
Agricultural Use
2005 Population
(km^3/yr)
(m^3/p/yr)
m3/p/yr
m3/p/yr
m3/p/yr
(millions)
Bangladesh
2000
79,40
560
18
4
538
141,82
China
2000
549,76
415
27
107
281
1.323,35
Philippines
2000
28,52
343
57
32
254
83,05
Indonesia
2000
82,78
372
30
3
339
222,78
India
2000
645,84
585
47
32
506
1.103,37
Modifikasi dari Pasific Institute, 2007

Ironisnya pada banyak negara berkembang, kemudian ditemukan bahwa akses populasi untuk air minum itu tergolong sangat rendah, terutama di Indonesia, seperti yang nampak dari gambar dibawah ini:





Pada level yang lebih rendah, di Indonesia sebenarnya telah terdapat UU No.7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air yang mengatur tentang penggunaan air sebagai sumber daya alam. Agak terlambat memang, tetapi sudah lebih baik karena sebenarnya, UU itu merupakan kekuatan komplementer yang berguna bagi masyarakat yang secara sosial dan konstitusional merupakan pemilik sahnya, selain negara. Didalamnya telah terdapat pengaturan bahwa Pemerintah (Pusat) dan Pemerintah Daerah (Pemda) harus bertanggungjawab dalam pengembangan sistem penyediaan air minum, disamping dalam penyelenggaraannya, dapat berperan pihak lain seperti Koperasi, BUMN, Badan Usaha Swasta dan masyarakat.
Dalam prakteknya, air masih tetap dianggap sebagai komoditas yang bisa diperdagangkan dan tidak dipergunakan dengan bijak. Yang paling tidak membangun sifatnya, adalah justru Pemda ikut-ikutan “basah” bermain air dengan pengusaha AMDK besar seperti Aqua. Pemahaman tentang desentralisasi yang kurang, menyebabkan banyak perilaku Pemda yang sebenanrnya kurang bisa dijadikan teladan bagi masyarakat. Di Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah misalnya, tempat dimana Aqua membangun salah satu pabrik terbesarnya (dengan kapasitas produksi hingga 40% dari total produksi seluruh Indonesia), terdapat nota kesepahaman[14] antara PT TIV dengan Pemerintah Propinsi Jawa Tengah untuk melindungi mata air Sigedang dari akses warga sekitar, dengan modus memberikan 10% dari total penjualan air perhari untuk disalurkan ke rumah-rumah warga.[15]
Namun, menurut warga yang di advokasi oleh WALHI Jawa Tengah, masalahnya sebenarnya bukan di angka 10% yang diberikan Aqua kepada warga setiap hari, tapi pada akibat yang ditimbulkan dari aktifitas pengambilan air secara besar-besaran yang telah menyebabkan sumur-sumur gali warga, mengalami kekeringan dan irigasi persawahan mereka juga sekarang hanya mengandalkan hujan.[16] Data yang diperoleh dari Balai Pengelolaan Pertambangan dan Energi (BPPE), Jateng, Wilayah Solo, antara Februari hingga Mei 2004 PT Tirta Investama mengeksploitasi air tanah sebanyak 30.000 meter kubik (30 juta liter) hingga 40.000 meter kubik (40 juta liter) per bulan. Jika seluruh air baku dipergunakan untuk memproduksi AMDK dengan estimasi harga terendah Rp 1.300, maka perusahaan itu bisa memasarkan AMDK senilai Rp 30 milyar hingga Rp 42 milyar per bulan.[17]
Dalam rapat umum yang dipaksakan oleh warga dan WALHI Jawa Tengah serta dihadiri oleh Bupati  Klaten, Ketua DPRD Klaten, dan pihak Juru Bicara Aqua, sangat terlihat pemihakan Pemda Klaten atas perjanjian bisnis dengan pihak Aqua, sementara DPRD Klaten hanya merespon dengan tidak akan mengeluarkan izin usaha bagi usaha AMDK yang akan beroperasi diwilayah Klaten, setelah PT TIV. Sementara, mereka sendiri juga turut andil dalam mengesahkan MoU tersebut sebagai Perda.
Dipastikan, masih akan banyak kasus-kasus greenwashing[18] a la perusahaan AMDK seperti Aqua yang akan muncul, mengingat Aqua memiliki sekitar 12 pabrik yang lokasi tersebar di seluruh Indonesia. Dan jika hal tersebut menjadi persoalan yang berlarut tanpa diiringi dengan upaya mengeksplorasi bentuk-bentuk penyelesaian yang adil bagi masyarakat, maka pernyataan bahwa air sebagai sebuah sumber konflik dan terorisme di Indonesia akan menjadi sangat relevan.[19] Olehnya itu, akan lebih banyak membawa manfaat apabila, air secara bijaksana tidak diperlakukan sebagai komoditas belaka, karena pihak yang paling mendapatkan keuntungan besar dari perlakuan itu adalah segelintir elit didaerah tempat investasi AMDK berada. Pemerintah seharusnya lebih proaktif bergerak daripada hanya sekedar memaksa produk AMDK menggunakan  Standar Nasional Indonesia (SNI).[20]
Pernyataan bahwa industri AMDK memerlukan modal investasi yang cukup besar, tapi ini bukan kendala karena dengan pertumbuhan kebutuhan akan air minum yang aman dan volumenya cukup signifikan telah mengundang ketertarikan investor asing,[21] tidak cukup argumentatif dengan contoh berbagai fakta diatas. Begitu pula dengan pernyataan bahwa perkembangan penyerapan tenaga kerja setempat maupun di jalur distribusi yang bersifat padat karya tetap terbentuk, sehingga industri ini dapat menjadi salah satu stimulan ekonomi pada masa krisis,[22] juga sangat rapuh dan kurang berdasar, mengingat keputusan Aqua untuk menerima pinangan Danone Perancis untuk merger/akusisi di tahun 1998 didominasi oleh kerugian yang terjadi selama krisis moneter berlangsung di Indonesia tahun 1996-1997, dimana keuntungan yang didapatkan Aqua menurun secara signifikan rata-rata hingga 35% dari total pertumbuhan sales tahun-tahun sebelumnya.[23]
Porsi kepemilikan Group Danone Perancis atas Aqua yang diwakili oleh PT TIV, saat ini telah berada pada posisi 95%,[24] dan ada kecenderungan mereka akan melepas saham publik yang hanya berjumlah 5% saja, untuk lebih mengokohkan Group Danone sebagai perusahaan privat dan tertutup dari akses masyarakat. Pemerintah melalui (Badan Pengawasan Pasar Modal-BAPEPAM) harus lebih mewaspadai langkah voluntary delisting dari bursa saham BEI yang telah mereka coba lakukan sejak tahun 2001,[25] sebagai pintu bagi mereka untuk melakukan praktek korporatisme dengan negara dengan me-monopoli keuntungan usaha AMDK secara nyata, bukan dengan kompetisi usaha yang sehat. Peran Badan Pengawas Persaingan Usaha – BPPU juga harus  melihat fenomena ini sebagai urusan yang terkait dengan hajat hidup orang banyak.

Penutup
Diakui, Global Value Chain (GVC) sangat bermanfaat untuk mengamati, menganalisa, dan menjelaskan perkembangan/perjalanan/proses yang terjadi pada komoditas, dari yang masih berupa konsep, hingga sampai ke tangan  konsumen. Riset-riset GVC secara metodologis akan sangat bermanfaat, karena dapat mengetahui detail dari setiap jobs, technology, standard, regulasi, produk, proses, dan pasar dalam jenis industri dan daerah yang spesifik. GVC juga diharapkan  dapat menjelaskan bagaimana value add  itu dapat lebih menguntungkan bagi para pengusaha lokal-nasional.
Namun, kesemuanya itu baru akan terlihat “govern”, jika Pemerintah tidak setengah hati memberlakukan kebijakan untuk mengakses pasar global. Disini peran pemerintah dituntut agar dapat menjadi salah aktor positif dan berpengaruh dalam chain pada sebuah industri tertentu, bukan justru berkolaborasi dengan perusahaan besar/multinasional (MNC/TNC), yang tentu saja, pada gilirannya akan selalu mematikan industri lokal-nasional. Pelajaran dari AMDK Aqua membuktikan, bahwa Pemerintah masih setengah hati mendukung kebijakannya sendiri pada sektor  industri domestik untuk mengakses pasar global. Dengan model kebijakan Pemerintah yang seperti ini, perkataan Ricupero di awal paper ini, patut diperhitungkan dan lebih bisa disikapi.


*Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Program Kerjasama Pembangunan Internasional, Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Alumni Jurusan Hubungan Internasional Universitas Hasanuddin. 




Catatan Akhir:
[1] Dalam Yilmaz Akyuz, Ed., Developing Countries and World Trade; Performance and Prospects, UNCTAD-Third World Network (TWN)-ZedBooks, 2003, hal.xiii
[2] Principle No.4, Dublin Statement 1992 dalam Executive Summary, World Water Development Report. Watertech online, 2001 yang diakses dari http://www.unesco.org/water/wwap/facts and figures/valuing water pada  21 Juni 2010, 20:15:14
[3] Valuing Water, Ibid.
[4] Peter H. Gleick, Water and Terrorism, dalam The World’s Water 2006-2007; The Biennial Report on Freshwater Resources, Peter H.Gleick (Eds.), Pacific Institute for Studies in Development, Environment, and Security, IslandPress, Washington, 2006
[5] Prospectus Aqua, 2003
[6] http://scylics.multiply.com/journal/item/186/Industri_Air_Minum_Dalam_Kemasan_AMDK_2006_Bisnisnya_Tak_Pernah_Kering.htm,  Diakses pada 2 Mei 2010, 11:52
[7] Annual Report, PT Aqua Golden Missisippi, Tbk, (PT AGM) Tahun 2006
[8] Raphael Kaplinksy and Mike Morris, A Handbook for Value Chain Research, Paper Prepared for IDRC, 2001. Hal.4
[9] Didahului dengan penentuan topik/cluster, kemudian melakukan pengumpulan data, presentasi outline, dan pembuatan paper, sebagai syarat kelulusan dalam MK. Global Value Chain (GVC) pada Konsentrasi Kerjasama Pembangunan Internasional, Program Pascasarjana Ilmu Hubungan Internasional, UGM tahun 2010. Beberapa data yang dapat diakses, tidak termasuk data tentang pekerja pabrik, hubungan pabrik dengan pemerintah daerah setempat, hubungan pabrik dengan lingkungan hidup disekitar pabrik, dan data lain yang menurut mereka, disclosure.
[10]  Tempo Online, 11 September 1993, diakses pada 23 Maret 2010,19:35:32
[11] Annual Report 2008, PT AGM
[12] http://marsnewsletter.wordpress.com/2009/01/27/aqua-tetap-memimpin-pasar-amdk/ diakses pada 23 Maret 2010 18:23:20
[13] Penjelasan penting tentang bagaimana air menjadi komoditas, dapat dibaca pada publikasi  terbitan Committee on Valuing Ground Water, Valuing Ground Water; Economic Concepts and Approaches, Water Science and Technology Board, US National Research Council, National Academy Press, Washinton D.C., 1997. Hal serupa juga bisa didapatkan pada situs web  http://www.unesco.org/water/wwap/facts and figures/valuing water, Op.Cit.
[14] Hingga laporan ini ditulis, Pemerintah Propinsi Jawa Tengah melalui Badan Penanaman Modal Daerah, tidak pernah sekalipun membolehkan publik mengakses MoU tersebut.
[15] Gatra.com Nomor 18 Beredar Kamis, 12 Maret 2009, diakses pada 13 April 2010,20:37:54
[16] Ibid.
[17] Catatan Pembangunan Pertanian dan Pedesaan, Korporatisasi Pertanian telah Meminggirkan
Pertanian Rakyat, 2009. Jakarta: Serikat Petani Indonesia (SPI)
[18] Sebuah istilah yang digunakan untuk menggambarkan tindakan perusahaan, pemerintah atau organisasi lainnya yang mengiklankan praktik  lingkungan yang baik tetapi bertindak sebaliknya dalam menjalankan kegiatan usaha. Istilah tersebut juga digunakan ketika jumlah sumberdaya perusahaan yang digunakan untuk beriklan lebih besar daripada  yang digunakan untuk  melakukan tindakan nyata. Hal tersebut dapat dilihat dari perusahaan yang mengubah kemasan atau merek agar terlihat lebih ramah lingkungan (sosial maupun alam). Greenwash biasanya dilakukan oleh perusahaan yang mengeksplorasi Sumber Daya Alam/Penambangan, dalam http://donhangga.com/greenwashing-a-la-danone/2007/09/01/ diakses pada 28 Maret 2010, 16:41:51
[19] Peter H. Gleick, 2006, Op.Cit.
[20] http://www.bisnis.com, Bisnis Indonesia Online: Air minum dalam kemasan wajib penuhi
 SNI, diakses pada 23 Maret 2010 10:02:38
[21] Hendarmawan, Pengembangan Air Tanah Untuk Air Minum, Makalah yang disampaikan pada Kongres Asosiasi Pengusaha Air Minum  Indonesia – ASPADIN di Pabrik Aqua Mekarsari,Tahun 2008, Sukabumi, Jawa Barat. Hal.6
[22] Ibid.
[23] Financial Highlight PT AGM, 1997
[24] Majalah Tempo Online, Edisi 22 Juni 2009, diakses pada 13 April 2010, 21:20:50
[25] Ibid.

Referensi:
Akyuz, Yilmaz, Ed., Developing Countries and World Trade; Performance and Prospects, UNCTAD-Third World Network (TWN)-ZedBooks, Malaysia: ZedBooks, 2003
Annual Report, PT AGM 2006
Annual Report, PT AGM 2007
Annual Report,PT AGM 2008
Bisnis Indonesia Online: 23 Maret 2010 
Catatan Pembangunan Pertanian dan Pedesaan, Korporatisasi Pertanian telah MeminggirkanPertanian Rakyat, 2009. Jakarta : Serikat Petani Indonesia (SPI)
Committee on Valuing Ground Water, Valuing Ground Water; Economic Concepts and Approaches, Water Science and Technology Board, US National Research Council, National Academy Press, Washinton D.C., 1997
Executive Summary, World Water Development Report. Watertech online, 2001 yang diakses dari http://www.unesco.org/water/wwap/facts and figures/valuing water
Financial Highlight PT AGM, 1997
Gatra.com Nomor 18, 12 Maret 2009,
Gleick, Peter H., Water and Terrorism, dalam The World’s Water 2006-2007; The Biennial Report on Freshwater Resources, Peter H.Gleick (Eds.), Pacific Institute for Studies in Development, Environment, and Security, IslandPress, Washington, 2006
Hendarmawan, Pengembangan Air Tanah Untuk Air Minum, Makalah yang disampaikan pada 
Kongres Asosiasi Pengusaha Air Minum  Indonesia – ASPADIN di Pabrik Aqua Mekarsari,Sukabumi, Jawa Barat. 2008,.
Kaplinksy, Raphael and Mike Morris, A Handbook for Value Chain Research, Paper Prepared for IDRC, 2001.
Prospectus Aqua, 2003
Prospectus Aqua, 2004
Prospectus Aqua, 2005
Prospectus Aqua, 2006
Prospectus Aqua, 2007
Prospectus Aqua, 2008
Tempo Online, Edisi 11 September 1993
Tempo Online, Edisi 22 Juni 2009
http://marsnewsletter.wordpress.com/2009/01/27/aqua-tetap-memimpin-pasar-amdk/
http://www.unesco.org/water/wwap/facts and figures/valuing water,
http://donhangga.com/greenwashing-a-la-danone/2007/09/01/



2 komentar:

{ LEBAH MASTER } at: 18 Maret 2015 pukul 22.53 mengatakan...

Salam pak...Mohon ijin untuk menjadikan tulisannya sebagai referensi tugas analisa value chain dari kampus saya ya. trims.

{ Unknown } at: 9 Oktober 2016 pukul 22.12 mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

Posting Komentar

 

Anti-Copyright Tamalanrea School | Semua isi dalam weblog ini bisa digandakan untuk tujuan non-komersil